Gunung Panderman, Gunung yang bisa mengobati kegelisahanmu


Puncak sejengkal kaki
Berawal dari kegalauan dari sahabat semasa SD yang menjalani kehidupan layaknya sinetron-sinetron yang tayang di tv. Dan keinginannya untuk bisa mendaki gunung biar katanya bisa menikmati kesunyian diatas beribu meter di atas tanah. Sudah lama dia menginginkan itu, ya sekitar lima bulan lamanya setelah pendakian ku ke Gunung Lawu. Antara perasaan senang dan khawatir, takut terjadi apa-apa jika aku harus berdua dengannya, secara aku sendiri belum mahir-mahir juga berkegiatan di alam bebas.


Ketika aku memutuskan untuk Ke Gunung Kelimutu (yang belum sempat kutulis di blog ku), aku turut mengajaknya. Tapi mungkin kesiapan yang belum matang, apalagi wilayah Gunung tersebut membutuhkan dana yang tidak sedikit, akhirnya dia pun tak sempat ikut. Jadwal pekerjaan yang bertabrakan membuat kita susah untuk menyatukan jadwal kami berdua.

Hari berganti hari, saat terkahir kulihat dia update status di facebook dan berencana ingin resign, akhirnya akupun memutuskan untuk naik gunung dalam waktu dekat. Padahal secara fisik, tubuhku belum ada persiapan yang matang. Belum lagi berat badanku yang bertambah membuat aku kesulitan untuk harus naik gunung lagi.


Akhirnya aku menghubungi teman-teman yang sudah kuanggap bisa menemani kami naik gunung. Rencana memang kami ingin mendaki Gunung Arjuna dengan cara naik hartop sampai ke Pondokan. Aku pikir dengan naik hartop kita tidak susah-susah jalan untuk mencapai puncaknya, ini juga mengingatkan aku dengan cerita teman yang pernah mencapai Gunung Sorak di Korea dengan kereta gantung. Semakin hari semakin dimudahkan saja dengan fasilitas yang nyaman jika ingin menikmati ketinggian gunung dan semoga saja bisa terjadi di Indonesia. Menjelang hari H, temanku mengabarkan dia harus masuk kerja di Hari Sabtu dan otomatis aku memutar otak untuk bisa mendaki gunung yang mudah dijangkau jika harus memulai pendakian awal di Hari Sabtu malam.
Gunung Panderman dan Gunung Penanggungan, dua gunung itu menjadi alternatif aku untuk memutuskan gunung mana yang harus didaki pertama kami untuk sahabatku. Dengan berbagai pertimbangan akhirnya kami memutuskan Gunung Panderman menjadi gunung yang akan kita daki.


Gunung Panderman yang memiliki ketinggian 2045mdpl terletak di daerah Batu. Rute kendaraan kesana dari Surabaya yaitu mengarah ke Malang sampai ke pertigaan Bentoel belok ke kanan lurus terus walaupun menemukan rambu dilarang lurus. Hingga pertigaan yang mengarahkan kita untuk sampai ke alun-alun kota Batu. Dari alun-alun kota Batu lurus kearah deretan pegunungan hingga menemukan perempatan jalanan agak mengecil. Ikuti jalan hingga kanan jalan terdapat gapura yang bertuliskan Wisata Panderman. Jika kesulitan untuk menemukannya, tanya saja ke penduduk sekitar arah menuju Wisata Panderman, pasti dengan ramah mereka menunjukkan arahnya.

Selepas dari gapura, kita akan diberhentikan oleh penduduk sekitar. Kami diwajibkan parkir disitu jika memakai kendaraan matic, jika pakai manual bisa langsung melanjutkan perjalanan hingga pintu pos registrasi. Kami pun memulai perjalan sekitar mau magrib, jalan yang macet ke arah Malang membuat kami menghabiskan banyak waktu di jalan. Hujan gerimis membuat langkah motor akmi tidak secepat biasanya.
Tak jauh dari pos registrasi, kita akan menemukan sumber air yang lumayan deras mengalir. Karena dari Surabaya kita tidak membawa perbekalan air, maka kami memutuskan untuk mecari botol kosong untuk di isi air untuk memasak makanan.
 
Bertemu teman baru
Di gunung ini terdapat 3 plang, yang menandakan pos-pos yang ada di gunung ini. Rutenya dari pos registrasi – Latar Ombo – Watu Gede – Puncak Basundara. Jalanan dari Latar Ombo hingga ke Watu Gede relatif masih aman menanjaknya. Walaupun bisa dibilang perjalanan saya paling lama diantara yang lainnya. Hingga pada akhirnya kamipun terbagi menjadi 2 tim. Tim pertama sampai ke puncak saat itu juga, sedangkan aku harus menyerah karena kehabisan tenaga sebelum Puncak. Jalanan dari Watu Gede ke Puncak memang bisa dibilang sangatlah terjal. Mungkin dari awal aku meremehkan ketinggian Gunung ini yang membuat aku sangat amat berat berjalan. Mungkin faktor U dan faktor kegemukan membuat aku harus beristirahat beratapkan langit. Tenaga yang semakin habis dan mata yang mulai mengantuk, kami berdua mulai menggelar sleeping bag dan matras. Tuhan…jangan turunkan hujan di area ini sebelum aku bertemu dengan yang lainnya, pinta kami sebelum memejamkan mata.

Langitpun pun berganti dari gelap menjadi terang. Kami berdua mulai mengurangi perbekalan yang kami bawa untuk sampai ke puncak. Dengan kondisi yang semakin fit, kami melanjutkan perjalanan. Hingga sampailah kami berdua di Puncak Basundara dan bertemu dengan yang lainnya. Keadaan di puncak banyak sekali monyet-monyet liar yang galaknya amit-amit. Lengah sedikit saja makanan kita diambil oleh monyet-monyet itu. Tuntas sudah misi untuk bisa menemani sahabat SD yang kebelet pengen mendaki gunung. Dan yang ku dengar dia akan mendaki Gunung Welirang beberapa hari kedepan. Terimakasih Tuhan, aku masih bisa merasakan bagaimana mendaki gunung lagi dengan orang tersayang.

Penyuka siomay’, penyuka kwetiaw, penyuka green tea dan tiba-tiba suka berpergian’hanya untuk menikmati alam’

6 komentar:

  1. wah aku takut monyet2 itu mbak :) tapi seu ya daki gunung . jadi pingin ikutan

    BalasHapus
  2. Iya Mbak, ayuk Mbak diagendakan kalo mau naik gunung

    BalasHapus
  3. Wuahhhh, kangen pengen hiking lagi kalo liat postingan begini. Trakir ke Kawah Ijen, duh itu pun dulu pas masih rajin banget olahraga. Sekarang? Huhuhuhu.....

    BalasHapus
  4. harus rajin olahraga lagi mbak, hehehe

    BalasHapus
  5. coba kalau saya udah punya istri, pasti lebih seru nih.. hehehe makasih mbah infoana buat saya

    BalasHapus
    Balasan
    1. nah lho harus punya istri dlu baru naik gunung?

      mau naik gunung apa pelaminan mas? :D

      Hapus